Banyak hal yang berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Dan satu hal
yang sangat menentukan adalah pengalaman. Tingkah laku yang kita
peroleh pada permulaan hidup kita tentu saja berasal dari keluarga.
Pertama kali yang kita contoh adalah tindak tanduk kedua orang tua kita,
makanya ada pepatah yang mengatakan bahwa " Buah tidak akan
jatuh jauh dari pohonnya ". Demikian juga dengan pola
berpikir kita, cara kita bergaul, cara kita bertingkah laku, bertutur
kata, semua mencerminkan satu kepribadian manusia itu sendiri dan
pengalaman hidupnya. Keluarga tidak bisa dipungkiri bagaikan cermin
yang merefleksikan sebagian besar kepribadian dari seseorang.
Pengalaman hidupnya sendiri memberikan andil yang seimbang tergantung
kembali kepada kebijakan dirinya untuk mengukur mana-mana yang terbaik
untuk disandangnya sebagai kepribadian selama hidupnya kelak. Maka
sungguh bijaksana kiranya orang tua untuk memberikan waktu yang cukup
untuk membentuk kepribadian anaknya yang masih kecil dengan akhlak,
sopan santun, serta keberanian dalam segala hal yang benar sebagai bekal
kehidupannya menjadi seorang dewasa di masa yang akan datang.
Sekarang saya memberikan gambaran cerita yang baru saya baca,
mengenai perubahan pola berpikir yang membutuhkan keberanian diri untuk
melakukannya. Cerita mengenai korban pemerkosaan, seseorang yang merasa
tertekan dalam kehidupannya karena menanggung sedemikian besar perasaan
takut dan traumatis yang berkepanjangan semenjak dia berusia sekolah
dasar hingga remaja, akibat pemerkosaan yang tidak pernah dia bayangkan
sebelumnya, yang tidak pernah dia utarakan sekalipun kepada orang
tuanya, atau kepada orang terdekatnya. Semua dia tanggung sendiri
karena merasa hal itu merupakan aib yang merusak martabatnya sebagai
seorang gadis.
Beberapa percobaan bunuh diri dia lakukan untuk mengakhiri
penderitaannya tanpa seorangpun tahu apa penyebabnya dia melakukan itu.
Setiap hari yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana membuang memori
yang telah sekian lama tersimpan namun seolah selalu terasa seperti
terjadi kemarin, begitu kuatnya sehingga setiap kali bangun tidur pagi
yang pertama muncul adalah ingatan mengenai penganiayaan terhadap
seksualitasnya di waktu itu. Dia tumbuh menjadi seorang yang penakut,
merasa dilecehkan, teraniaya tanpa seorangpun yang mengerti. Setiap
anak di usia yang sama dengannya suka berkumpul bareng dan mulai mencari
pasangan yang cocok untuk diajak jalan namun dia menarik diri dari
komunitasnya dan memilih menutup diri, menjauhkan diri dari segala hal
yang berbau kebersamaan. Dia merasa dirinya teramat lelah hidup, merasa
sangat malu, hancur, dan sakit sekali. Dia tak ingin seorangpun tahu
apa yang telah terjadi.
Dia sendiri sebenarnya menyadari bahwa ada yang salah dalam dirinya.
Tragedi yang ingin dia bungkam walau dia ingin menjerit agar semua
orang tahu yang terjadi dalam dirinya. Namun dia tak kuasa untuk
membaginya, sampai suatu ketika setelah bangun tidur dia berkata kepada
dirinya, bahwa penyebab sesuatu yang telah terjadi adalah karena suatu
alasan tertentu. Pagi itu dia menengok ke dalam dirinya sendiri,
mengapa dia tidak bisa senormal anak yang lain. Dia sebelumnya selalu
melihat ke belakang. Setiap hari dia bertanya, “Mengapa terjadi
kepadaku?” “Kenapa aku?” Sekarang dia mulai mengganti pertanyaannya
dengan: “Kenapa aku bisa seperti sekarang ini? karena aku membuatnya
seperti ini”. Suatu pernyataan yang menggugah. Kitalah yang membuat
diri kita sendiri menjadi seperti sekarang ini.
Memang perasaan sakit akibat penganiayaan seksual tidak bisa dianggap
remeh, tidak bisa begitu saja dilupakan. Akan selalu ada. Demikian
juga halnya dengan pengalaman lain yang begitu buruk yang sudah pernah
kita rasakan, yang mungkin juga mempermalukan kita. Janganlah
memusuhinya. Jangan menjadi pendendam. Supaya kita bisa memberikan
waktu untuk mengenali diri kita dulu. Bagaimana caranya agar kita dapat
mengatasinya? Dengan rasa percaya diri dan kemampuan untuk menengoknya
kembali walau menyakitkan. Kita menggali kembali harga diri yang sempat
terpendam karena memikirkan rasa malunya. Kenalilah diri sendiri, dan
katakan bahwa ada orang lain yang lebih tidak mampu menanggungnya.
Bahwa kita mampu menyelamatkan diri kita sendiri dari keterpurukan. Hal
demikian akan membuat kita semakin kuat. Kemampuan mengatasinya membuat
kita menjadi penyelamat bagi diri kita sendiri. Kita juga menjadi
lebih mengerti apa arti kesakitan dalam hidup. Sangat diharapkan
apabila kemudian kita juga mampu menyelamatkan hidup orang lain yang
pernah berada dalam posisi yang sama rasanya seperti kita sebelumnya.
Hanya dengan satu keberanian untuk melihat jauh ke dalam diri kita,
dengan segala kepahitan di masa lalunya dan kemudian mengenalinya maka
kita akan menemukan jati diri kita yang sesungguhnya dengan pelajaran
yang sangat berharga. Bertemanlah dengan pengalaman diri kita untuk
menjadi dewasa.