Senin, 30 April 2012

Copas, but please read

Diposting oleh Unknown di 04.37
Banyak hal yang berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Dan satu hal yang sangat menentukan adalah pengalaman. Tingkah laku yang kita peroleh pada permulaan hidup kita tentu saja berasal dari keluarga. Pertama kali yang kita contoh adalah tindak tanduk kedua orang tua kita, makanya ada pepatah yang mengatakan bahwa " Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya ". Demikian juga dengan pola berpikir kita, cara kita bergaul, cara kita bertingkah laku, bertutur kata, semua mencerminkan satu kepribadian manusia itu sendiri dan pengalaman hidupnya. Keluarga tidak bisa dipungkiri bagaikan cermin yang merefleksikan sebagian besar kepribadian dari seseorang. Pengalaman hidupnya sendiri memberikan andil yang seimbang tergantung kembali kepada kebijakan dirinya untuk mengukur mana-mana yang terbaik untuk disandangnya sebagai kepribadian selama hidupnya kelak. Maka sungguh bijaksana kiranya orang tua untuk memberikan waktu yang cukup untuk membentuk kepribadian anaknya yang masih kecil dengan akhlak, sopan santun, serta keberanian dalam segala hal yang benar sebagai bekal kehidupannya menjadi seorang dewasa di masa yang akan datang.
Sekarang saya memberikan gambaran cerita yang baru saya baca, mengenai perubahan pola berpikir yang membutuhkan keberanian diri untuk melakukannya. Cerita mengenai korban pemerkosaan, seseorang yang merasa tertekan dalam kehidupannya karena menanggung sedemikian besar perasaan takut dan traumatis yang berkepanjangan semenjak dia berusia sekolah dasar hingga remaja, akibat pemerkosaan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, yang tidak pernah dia utarakan sekalipun kepada orang tuanya, atau kepada orang terdekatnya. Semua dia tanggung sendiri karena merasa hal itu merupakan aib yang merusak martabatnya sebagai seorang gadis.
Beberapa percobaan bunuh diri dia lakukan untuk mengakhiri penderitaannya tanpa seorangpun tahu apa penyebabnya dia melakukan itu. Setiap hari yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana membuang memori yang telah sekian lama tersimpan namun seolah selalu terasa seperti terjadi kemarin, begitu kuatnya sehingga setiap kali bangun tidur pagi yang pertama muncul adalah ingatan mengenai penganiayaan terhadap seksualitasnya di waktu itu. Dia tumbuh menjadi seorang yang penakut, merasa dilecehkan, teraniaya tanpa seorangpun yang mengerti. Setiap anak di usia yang sama dengannya suka berkumpul bareng dan mulai mencari pasangan yang cocok untuk diajak jalan namun dia menarik diri dari komunitasnya dan memilih menutup diri, menjauhkan diri dari segala hal yang berbau kebersamaan. Dia merasa dirinya teramat lelah hidup, merasa sangat malu, hancur, dan sakit sekali. Dia tak ingin seorangpun tahu apa yang telah terjadi.
Dia sendiri sebenarnya menyadari bahwa ada yang salah dalam dirinya. Tragedi yang ingin dia bungkam walau dia ingin menjerit agar semua orang tahu yang terjadi dalam dirinya. Namun dia tak kuasa untuk membaginya, sampai suatu ketika setelah bangun tidur dia berkata kepada dirinya, bahwa penyebab sesuatu yang telah terjadi adalah karena suatu alasan tertentu. Pagi itu dia menengok ke dalam dirinya sendiri, mengapa dia tidak bisa senormal anak yang lain. Dia sebelumnya selalu melihat ke belakang. Setiap hari dia bertanya, “Mengapa terjadi kepadaku?” “Kenapa aku?” Sekarang dia mulai mengganti pertanyaannya dengan: “Kenapa aku bisa seperti sekarang ini? karena aku membuatnya seperti ini”. Suatu pernyataan yang menggugah. Kitalah yang membuat diri kita sendiri menjadi seperti sekarang ini.
Memang perasaan sakit akibat penganiayaan seksual tidak bisa dianggap remeh, tidak bisa begitu saja dilupakan. Akan selalu ada. Demikian juga halnya dengan pengalaman lain yang begitu buruk yang sudah pernah kita rasakan, yang mungkin juga mempermalukan kita. Janganlah memusuhinya. Jangan menjadi pendendam. Supaya kita bisa memberikan waktu untuk mengenali diri kita dulu. Bagaimana caranya agar kita dapat mengatasinya? Dengan rasa percaya diri dan kemampuan untuk menengoknya kembali walau menyakitkan. Kita menggali kembali harga diri yang sempat terpendam karena memikirkan rasa malunya. Kenalilah diri sendiri, dan katakan bahwa ada orang lain yang lebih tidak mampu menanggungnya. Bahwa kita mampu menyelamatkan diri kita sendiri dari keterpurukan. Hal demikian akan membuat kita semakin kuat. Kemampuan mengatasinya membuat kita menjadi penyelamat bagi diri kita sendiri. Kita juga menjadi lebih mengerti apa arti kesakitan dalam hidup. Sangat diharapkan apabila kemudian kita juga mampu menyelamatkan hidup orang lain yang pernah berada dalam posisi yang sama rasanya seperti kita sebelumnya. Hanya dengan satu keberanian untuk melihat jauh ke dalam diri kita, dengan segala kepahitan di masa lalunya dan kemudian mengenalinya maka kita akan menemukan jati diri kita yang sesungguhnya dengan pelajaran yang sangat berharga. Bertemanlah dengan pengalaman diri kita untuk menjadi dewasa.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Reni Ariningsih Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review